Jumat, 30 September 2022

Jarang di ketahui, Inilah Kontak antara Yunani dan Islam

 Ini Fakta sebenarnya tentang Konta antara Yunani dan Islam

Gelombang Hellenisme yang masuk ke Dunia Islam telah meninggalkan bekas yang nyata berupa lahirnya kegiatan berfilsafat Orang-orang Muslim. Akan tetapi, para Filsuf Muslim tidak semata-mata mengambil Filsafat Yunani secara apa adanya. Menyadari bahwa Filsafat Yunani terlahir dari Rahim keyakinan dan Kultur yang berbeda, Filsuf Muslim kemudian berusaha menjinakkannya.

Inilah Tema Sentral dan seluruh Aktivitas Kefilsafatan di Dunia Islam dalam hubungannya dengan Ajaran Islam. Atiqul Haque menjelaskan bahwa pada abad pertengahan, para Filsuf dari Baghdad dan Andalusia (Spanyol Muslim) memberikan Sumbangsih yang besar dengan mengembangkan Sistem Pemikiran yang seimbang dengan menggabungkan Filsafat Yunani dan Islam.

Kalau Penerjemahan Karya-karya Yunani pada abad ke-8 M, dianggap sebagai masuknya Filsafat Yunani ke Dunia Islam, maka Aktivitas tersebut adalah kelanjutan dari Aktivitas sebelumnya yang telah dilakukan oleh Orang-orang Kristen Nestorian di Syria. Memang jauh sebelum Islam menaklukkan wilayah-wilayah Timur dekat Syria telah menjadi wilayah pertemuan dari kekuatan Dunia, Romawi dan Persia. karena itu Syria memainkan peran dalam penyebaran Budaya Timur dan Barat.

Posisi penting Persia ini bisa di lacak dari kisah Penaklukan Alexander yang Agung atau Darius pada tahun 331 M di Arbela. Kemenangan Alexander Agung itu menandai pertemuan dua budaya dunia, Yunani dan Persia. Setelah Alexander meninggal, Kerajaan-kerajaannya yang besar terbagi menjadi Tiga: Macedonia di Eropa, Kerajaan Ptolomeus di Mesir dengan Ibu kotanya Alexanderia, dan Kerajaan Selerucid (Seleucus) di Asia dengan Kota-kota penting Antioch di Syria, Seleucia di Mesopotimia dan Bactra di Persia sebelah Timur.

Di Pusat-pusat Studi, seperti Antioch, Ephesus dan Alexanderia, Ilmu-ilmu Yunani kuno tetap dipelajari dan di Terjemahkan ke dalam berbagai Bahasa, terutama Bahasa Siriak. Dari ruang-ruang pembeajaran inilah Filsafat Yunani merembes ke dalam Teologi Spekulatf Kristen dan memesonakan Nestorius, seorang Patriak Konstantinopel. Aktivitas Nestorius ini mengandung kemarahan kaum Konservsatif dan Ortodoks yang menganggap bahwa Aktivitas Filosofis dalam Teologi Spekulatif Kristen hanya akan menodai kesempurnaan Teologi itu sendiri. Akhirnya sekitar tahun 481 M, Gereja mengeluarkan larangan atas aktivitas pengajarannya. Karena larangan ini Nestosius dan para pengikutnya lari ke Syria untuk menghindari ancaman Gereja. Di Syria ini dia melanjutkan aktivitas dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Yunani. Untuk tujuan ini dia mendirikan beberapa Sekolah yang diantaranya berkualitas tinggi. Disini mereka melakukan Penerjemahan dan Komentar-komentar dan ini memainkan peran yang sangat Signifikan dalam melestarikan dan menyebarkan Ilmu-ilmu Yunani. Oleh kelompok inilah Buku-buku semacam Isagoge dan Anatalica Priori karya Porphyry, Categories, Hermeneutica karya Aristoteles, beberapa Buku yang kelak sangat berpengaruh dalam Filsafat Islam, diterjemahkan.

Di abad ke-7 M, Pusat-pusat studi Ilmu Yunani bertambah lagi, yaitu Harran dan Jundishapur. Di Universitas-universitas ini, Matematika, Astronomi, Kedokteran, Filsafat dan berbagai Ilmu Pengetahuan yang lain di ajarkan. Para Pengajar di Jundishapur kebanyakan adalah Orang-orang Nestorian dan Monofisit.

Dari Sekolah-sekolah ini Ilmu-ilmu Yunani tersebar di Dunia Islam, seperti yang kebanyakan di Catat dalam Buku Sejarah, ketika Orang Islam menundukkan Kota-kota Pusat Studi Ilmu Yunani ini, mereka sama sekali tidak mengusik Institusi-institusi ini, bahkan orang-orang Arab sama sekali tidak mengintervensi Bahasa dan Budaya Penduduk Daerah yang ditundukannya. Karena itu tidak mengherankan jika pada tahap awal, aktivitas penerjemahan tidak langsung ke dalam Bahasa Arab, tetapi terlebih dahulu ke dalam bahasa Aramaik.

Secara jelas Fenomena ini ditulis oleh C.A. Qadir, 

...the centers of learning lead by Christians continued function unmolested even after they were subjugated by the muslim. This indicates not only the intellectual freedom that prevailed under muslim rule in those days, but also testifies to the muslim’s love of knowledge and the respect they paid to the scholars irrespective of their religion.

...(pusat-pusat pembelajaran yang dipimpin oleh orang-orang Kristen terus berfungsi tanpa gangguan bahkan setelah mereka ditaklukkan oleh muslim. Ini menunjukkan tidak hanya kebebasan Intelektual yang berlaku di bawah Pemerintahan Muslim pada masa itu, tetapi juga bersaksi tentang Kecintaan para Muslim akan Pengetahuan dan Rasa Hormat yang mereka berikan kepada para Cendekiawan terlepas dari Agama mereka).

Sekalipun Penerjemahan Ilmu-ilmu Yunani ke dalam Bahasa Arab telah dimulai sejak Periode Kekhalifahan Umayyah, namun aktivitas Penerjemahan baru benar-benar menemukan masanya Sejak masa Dinasti Abbasiyah, terutama sejak masa al-Mansur. Dikisahkan bahwa al-Mansur banyak memiliki Terjemahan Teks-teks Yunani, baik Filsafat maupun Ilmu Pengetahuan. Kemajuan Ilmu Pengetahuan semakin terlihat pada masa Harun ar-Rasyid berkat Antusiasme Yahya al-Barmaki, wazir Khalifah, terhadap Filsafat Yunani. Dia mendorong untuk menerjemahkan Teks-teks Yunani ke bahasa Arab. Yahya bin Masawayh, disamping menjadi Dokter Istana dia juga dipercaya untuk menerjemahkan Karya-karya Kedokteran kuno. Dan ketika al-Ma’mun (813-833 M) mendirikan Bait al-Hikmah, Yahya bin Masawayh menjadi Pengawas Penerjemahan Buku-buku Siriak, Pahlevi, Yunani, dan Sanskrit ke dalam bahasa Arab. Salah seorang yang sangat penting dalam Bait al-Hikmah adalah Hunain bin Ishaq (809-877), seorang Pejabat Masawayh dan Doktor dari Perguruan Jundishapur, yang menerjemahkan Karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, Appolonius dan Archimedes.

Di samping Hunain yang Nestorian, Penerjemahan penting yang lain adalah Thabit bin Qurra, orang Sabean yang datang dari Harran. Bersama para pengikutnya ia menerjemahkan Karya-karya Filsafat dan Astronomi Yunani. Pekerjaan Thabit akhirnya diteruskan oleh dua orang anaknya, dua cucunya, dan dua cicitnya.

Pada masa Kekuasaan al-Ma’mun inilah kotak Warisan Yunani dengan Islam menemukan momentumnya. Lewat kerja terjemahan serta ringkasan dan Komentar-komentar terhadap Teks-teks Yunani, Ilmu Yunani benar-benar menjadi Properti Kaum Muslim. Di bawah atap Bait al-Hikmah, Warisan-warisan Intelektual Islam dan Yunani di kumpulkan. Dia membeli Karya-karya Yunani di Asia kecil. Di bawah Pemerintahannya, Abu Ya’qub al-Kindi, Filsuf Muslim keturunan Arab, memulai Kerja Intelektual nya yang kelak namanya mengawali sederetan nama besar Filsuf Muslim.

Walaupun dari Fakta-fakta yang di ungkap di atas kontak antara Yunani dan Islam tidaklah hanya menjiplak secara keseluruhan, karena ada unsur Ideologis yang berbeda antara Peradaban Yunani dan Islam. Maka kemudian para Ilmuan Islam sejatinya adalah menyaring Ilmu-ilmu Yunani yang sesuai dengan isi Wahyu Al Quran, kemudian menyebarkannya dan yang bertentangan pasti akan di beri bantahan oleh Pemikir Islam. Mereka para Filsuf Islam yakin bahwa kebenaran adalah dari Al Quran, Konsep di luar itu adalah Kekeliruan.

Untuk membedakan antara konsep Keilmuan Islam dan Filsafat Yunani maka di bedakan dengan ciri-ciri sebagai berikut.

Pertama, mereka mempunyai Kesamaan dalam melihat Kebenaran Al Quran dan Ajaran Islam sehari-hari. Tidak seorang pun dari Filsuf ini yang berani meragukan kebenaran Al Quran atau menyimpang dari Ajaran Pokok Islam.

Kedua, para Filsuf Islam percaya bahwa ada Garis yang menghubungkan Islam dengan Filsafat Yunani. Mereka meyakini bahwa Wahyu Islam merupakan kelanjutan dari Mata Rantai Perenial yang telah muncul dalam Alam Pikiran Yunani. Misalnya al-Farabi menunjukkan bahwa Plato dan Aristoteles telah mengajarkan Doktrin yang sama dengan Al Quran sekalipun dengan Bahasa yang  berbeda, tentang “apa yang harus dicari dalam kehidupan”, yaitu mencari apa yang disebut dengan Kebenaran. Mereka pun dalam mendapatkan Kebenaran dilakukan dengan Metode yang sama. Hanya saja pada Plato diungkapkan dengan Hikayat-hikayat, sedang Aristoteles mengungkapkannya dengan Samar-samar. Akan tetapi keduanya hendak mendorong pengikutnya agar menemukan Kebenaran dengan menemukan di balik Segi-seginya yang lahiriah.

Ketiga, Filsafat Islam bertujuan mendapatkan Pengetahuan dalam rangka mendapatkan Hikmah (Kearifan). Para Filsuf Muslim meyakini ketinggalan Pengetahuan dimana payungnya adalah Metafisika atau Ilahiyat.

Keempat, Kualitas Kebijaksanaan atau Kearifan yang hendak digapai oleh para Filsuf Islam adalah Kualitas Keagamaan. Filsafat Islam mengandung Unsur-unsur Keagamaan yang diambil dari Al Quran, akan tetapi mereka bukan hanya sekedar meminjamnya sebagai Unsur-unsur Keagamaan belaka, namun Sungguh-sungguh berusaha merujukkan Agama dengan Akal untuk tujuan memberi status Keilmuan pada yang Pertama. Ia menerapkan Strukur Filsafat Yunani pada Prinsip-prinsip Agama dan dengan demikian memberikan Gema Keagamaan pada Filsafat Yunani, semua hal yang tidak dilakukan oleh Guru-guru Yunani mereka. Tidak mengherankan jika Fazlur Rahman menyatakan bahwa memang bahan–bahan atau Ide Filsafat di ambil dari Yunani, tetapi Kontruksi Aktualnya jelas berwarna Islam.

Kelima, Filsafat Islam menunjukkan Kegemarannya akan masalah Pengetahuan dan Dasar-dasar Psikologi serta Ontologinya. Di dalam Filsafat Islam hampir pasti kita menemukan Analisis yang mendalam dan bagus mengenai berbagai kemampuan dan kekuasaan makhluk, tingkat-tingkat yang harus di lalui untuk mencapai kesatuan dengan Sumber segala makhluk, termasuk tingkat penyucian Moral. Dengan demikian Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam tetapi dihangatkan dengan Semangat dan penjelasan yang di ambil dari Al Quran.

Kontak intelektual dengan Hellenisme membawa pengaruh yang sangat dalam bagi peradaban Islam, khususnya di bidang pemikiran Islam. Penerjemahan terhadap karya-karya Hellenisme tidak hanya meninggalkan karya-karya terjemahan saja, namun pada masa awal penerjemahan ini banyak bermunculan karya-karya Muslimin yang berasal dari Yunani. Selanjutnya, lahirlah generasi penulis-penulis Muslim orisinil. Mereka tidak lagi hanya menerjemahkan, membuat ikhtisar, komentar, atau sekedar mengutip, tetapi juga telah mengembangkannya dengan ajaran-ajaran Islam sehingga karya-karya tersebut oleh Lapidus dan Bernard Lewis dikatakan sebagai karya umat Islam murni dan asli. Mendukung pendapat kedua ahli sejarah di atas, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa mustahil karya-karya tersebut dianggap sebagai carboncopy Hellenisme (Lapidus, 1991:94).

Perdebatan bahwasannya Islam menjiplak warisan keilmuwan Yunani adalah kekeliruan, justru Islam membuka keran keilmuwan yang luas sehingga bisa menyebar sampai Eropa hingga saat ini, kepedulian Islam terhadap Ilmu ialah keterbukaan terhadap segala macam budaya dan ilmu dari mana saja asalnya, dalam konteks ilmu dari yunani, Ilmuwan Islam melakukan kajian yang dalam terhadap warisan ilmu yunani, dan tidak menerima keseluruhan, tapi hanya menerima yang bersesuaian dengan prinsip ajaran-ajaran Islam dalam Al Quran dan Hadist Nabi Saw, bila terdapat pertentangan dengan prinsip tersebut, maka mereka melakukan bantahan serta kritik tajam terhadap warisan yunani tersebut, sehingga apa keilmuwan yang di terima sekarang dan menyebar sampai Eropa adalah hasil observasi yang dalam, kemudian hanya kebenaran itu lah yang Islam sebarkan.



Daftar Pustaka

Paham orang awam ataupun orang di dunia yang berbicara, berkelakuan dan hidup seperti orang Yunani (Wikepedia)

M. Atiqul Haque, Wajah peradaban: Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi besar Islam, Budi Rahmat, et. Al. (penerj). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 68.

C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, (London: Routledge, 1991), hlm. 71.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 10-11

C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, (London: Routledge, 1991), hlm. 32

Ibid., hlm. 33.

Ibid., hlm. 32.

Bernard Lewis, The Arabs in History (New York: Harper Torchbooks, 1967). Hlm. 137.

Qadir, Philosophy, hlm 34-37; cari Brockelmann, History of the Islamic Peoples, (London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1949), hlm. 124-125.

Brockelmann, History, hlm. 125.

Nafis (ed), Rekontruksi dan Renungan, hlm. 322.

Rahman, Islam, hlm. 167.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar