Ini Fakta sebenarnya tentang Konta antara Yunani dan Islam
Gelombang Hellenisme yang masuk ke Dunia Islam telah meninggalkan bekas yang nyata berupa lahirnya
kegiatan berfilsafat Orang-orang Muslim. Akan tetapi, para Filsuf Muslim tidak
semata-mata mengambil Filsafat Yunani secara apa adanya. Menyadari bahwa Filsafat
Yunani terlahir dari Rahim keyakinan dan Kultur yang berbeda, Filsuf Muslim
kemudian berusaha menjinakkannya.
Inilah
Tema Sentral dan seluruh Aktivitas Kefilsafatan di Dunia Islam dalam hubungannya
dengan Ajaran Islam. Atiqul Haque menjelaskan bahwa pada abad pertengahan, para
Filsuf dari Baghdad dan Andalusia (Spanyol Muslim) memberikan Sumbangsih yang
besar dengan mengembangkan Sistem Pemikiran yang seimbang dengan menggabungkan
Filsafat Yunani dan Islam.
Kalau
Penerjemahan Karya-karya Yunani pada abad ke-8 M, dianggap sebagai masuknya Filsafat
Yunani ke Dunia Islam, maka Aktivitas tersebut adalah kelanjutan dari Aktivitas
sebelumnya yang telah dilakukan oleh Orang-orang Kristen Nestorian di Syria.
Memang jauh sebelum Islam menaklukkan wilayah-wilayah Timur dekat Syria telah menjadi
wilayah pertemuan dari kekuatan Dunia, Romawi dan Persia. karena itu Syria
memainkan peran dalam penyebaran Budaya Timur dan Barat.
Posisi
penting Persia ini bisa di lacak dari kisah Penaklukan Alexander yang Agung
atau Darius pada tahun 331 M di Arbela. Kemenangan Alexander Agung itu menandai
pertemuan dua budaya dunia, Yunani dan Persia. Setelah Alexander meninggal,
Kerajaan-kerajaannya yang besar terbagi menjadi Tiga: Macedonia di Eropa, Kerajaan
Ptolomeus di Mesir dengan Ibu kotanya Alexanderia, dan Kerajaan Selerucid (Seleucus)
di Asia dengan Kota-kota penting Antioch di Syria, Seleucia di Mesopotimia dan
Bactra di Persia sebelah Timur.
Di
Pusat-pusat Studi, seperti Antioch, Ephesus dan Alexanderia, Ilmu-ilmu Yunani
kuno tetap dipelajari dan di Terjemahkan ke dalam berbagai Bahasa, terutama Bahasa
Siriak. Dari ruang-ruang pembeajaran inilah Filsafat Yunani merembes ke dalam
Teologi Spekulatf Kristen dan memesonakan Nestorius, seorang Patriak
Konstantinopel. Aktivitas Nestorius ini mengandung kemarahan kaum Konservsatif
dan Ortodoks yang menganggap bahwa Aktivitas Filosofis dalam Teologi Spekulatif
Kristen hanya akan menodai kesempurnaan Teologi itu sendiri. Akhirnya sekitar
tahun 481 M, Gereja mengeluarkan larangan atas aktivitas pengajarannya. Karena
larangan ini Nestosius dan para pengikutnya lari ke Syria untuk menghindari
ancaman Gereja. Di Syria ini dia melanjutkan aktivitas dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan
dan Filsafat Yunani. Untuk tujuan ini dia mendirikan beberapa Sekolah yang
diantaranya berkualitas tinggi. Disini mereka melakukan Penerjemahan dan Komentar-komentar
dan ini memainkan peran yang sangat Signifikan dalam melestarikan dan
menyebarkan Ilmu-ilmu Yunani. Oleh kelompok inilah Buku-buku semacam Isagoge
dan Anatalica Priori karya Porphyry, Categories, Hermeneutica
karya Aristoteles, beberapa Buku yang kelak sangat berpengaruh dalam Filsafat
Islam, diterjemahkan.
Di abad
ke-7 M, Pusat-pusat studi Ilmu Yunani bertambah lagi, yaitu Harran dan
Jundishapur. Di Universitas-universitas ini, Matematika, Astronomi, Kedokteran,
Filsafat dan berbagai Ilmu Pengetahuan yang lain di ajarkan. Para Pengajar di
Jundishapur kebanyakan adalah Orang-orang Nestorian dan Monofisit.
Dari
Sekolah-sekolah ini Ilmu-ilmu Yunani tersebar di Dunia Islam, seperti yang
kebanyakan di Catat dalam Buku Sejarah, ketika Orang Islam menundukkan
Kota-kota Pusat Studi Ilmu Yunani ini, mereka sama sekali tidak mengusik Institusi-institusi
ini, bahkan orang-orang Arab sama sekali tidak mengintervensi Bahasa dan Budaya
Penduduk Daerah yang ditundukannya. Karena itu tidak mengherankan jika pada
tahap awal, aktivitas penerjemahan tidak langsung ke dalam Bahasa Arab, tetapi
terlebih dahulu ke dalam bahasa Aramaik.
Secara
jelas Fenomena ini ditulis oleh C.A. Qadir,
...the
centers of learning lead by Christians continued function unmolested even after
they were subjugated by the muslim. This indicates not only the intellectual
freedom that prevailed under muslim rule in those days, but also testifies to
the muslim’s love of knowledge and the respect they paid to the scholars
irrespective of their religion.
...(pusat-pusat
pembelajaran yang dipimpin oleh orang-orang Kristen terus berfungsi tanpa
gangguan bahkan setelah mereka ditaklukkan oleh muslim. Ini menunjukkan tidak
hanya kebebasan Intelektual yang berlaku di bawah Pemerintahan Muslim pada masa
itu, tetapi juga bersaksi tentang Kecintaan para Muslim akan Pengetahuan dan
Rasa Hormat yang mereka berikan kepada para Cendekiawan terlepas dari Agama
mereka).
Sekalipun
Penerjemahan Ilmu-ilmu Yunani ke dalam Bahasa Arab telah dimulai sejak Periode
Kekhalifahan Umayyah, namun aktivitas Penerjemahan baru benar-benar menemukan
masanya Sejak masa Dinasti Abbasiyah, terutama sejak masa al-Mansur. Dikisahkan
bahwa al-Mansur banyak memiliki Terjemahan Teks-teks Yunani, baik Filsafat
maupun Ilmu Pengetahuan. Kemajuan Ilmu Pengetahuan semakin terlihat pada masa
Harun ar-Rasyid berkat Antusiasme Yahya al-Barmaki, wazir Khalifah, terhadap Filsafat
Yunani. Dia mendorong untuk menerjemahkan Teks-teks Yunani ke bahasa Arab.
Yahya bin Masawayh, disamping menjadi Dokter Istana dia juga dipercaya untuk
menerjemahkan Karya-karya Kedokteran kuno. Dan ketika al-Ma’mun (813-833 M)
mendirikan Bait al-Hikmah, Yahya bin Masawayh menjadi Pengawas Penerjemahan Buku-buku
Siriak, Pahlevi, Yunani, dan Sanskrit ke dalam bahasa Arab. Salah seorang yang
sangat penting dalam Bait al-Hikmah adalah Hunain bin Ishaq (809-877), seorang
Pejabat Masawayh dan Doktor dari Perguruan Jundishapur, yang menerjemahkan Karya-karya
Plato, Aristoteles, Galen, Appolonius dan Archimedes.
Di samping
Hunain yang Nestorian, Penerjemahan penting yang lain adalah Thabit bin Qurra, orang
Sabean yang datang dari Harran. Bersama para pengikutnya ia menerjemahkan
Karya-karya Filsafat dan Astronomi Yunani. Pekerjaan Thabit akhirnya diteruskan
oleh dua orang anaknya, dua cucunya, dan dua cicitnya.
Pada masa
Kekuasaan al-Ma’mun inilah kotak Warisan Yunani dengan Islam menemukan
momentumnya. Lewat kerja terjemahan serta ringkasan dan Komentar-komentar
terhadap Teks-teks Yunani, Ilmu Yunani benar-benar menjadi Properti Kaum Muslim.
Di bawah atap Bait al-Hikmah, Warisan-warisan Intelektual Islam dan Yunani di
kumpulkan. Dia membeli Karya-karya Yunani di Asia kecil. Di bawah Pemerintahannya,
Abu Ya’qub al-Kindi, Filsuf Muslim keturunan Arab, memulai Kerja Intelektual
nya yang kelak namanya mengawali sederetan nama besar Filsuf Muslim.
Walaupun
dari Fakta-fakta yang di ungkap di atas kontak antara Yunani dan Islam tidaklah
hanya menjiplak secara keseluruhan, karena ada unsur Ideologis yang berbeda
antara Peradaban Yunani dan Islam. Maka kemudian para Ilmuan Islam sejatinya
adalah menyaring Ilmu-ilmu Yunani yang sesuai dengan isi Wahyu Al Quran,
kemudian menyebarkannya dan yang bertentangan pasti akan di beri bantahan oleh
Pemikir Islam. Mereka para Filsuf Islam yakin bahwa kebenaran adalah dari Al
Quran, Konsep di luar itu adalah Kekeliruan.
Untuk membedakan
antara konsep Keilmuan Islam dan Filsafat Yunani maka di bedakan dengan
ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, mereka
mempunyai Kesamaan dalam melihat Kebenaran Al Quran dan Ajaran Islam sehari-hari.
Tidak seorang pun dari Filsuf ini yang berani meragukan kebenaran Al Quran atau
menyimpang dari Ajaran Pokok Islam.
Kedua, para Filsuf
Islam percaya bahwa ada Garis yang menghubungkan Islam dengan Filsafat Yunani.
Mereka meyakini bahwa Wahyu Islam merupakan kelanjutan dari Mata Rantai Perenial
yang telah muncul dalam Alam Pikiran Yunani. Misalnya al-Farabi menunjukkan
bahwa Plato dan Aristoteles telah mengajarkan Doktrin yang sama dengan Al Quran
sekalipun dengan Bahasa yang berbeda,
tentang “apa yang harus dicari dalam kehidupan”, yaitu mencari apa yang
disebut dengan Kebenaran. Mereka pun dalam mendapatkan Kebenaran dilakukan
dengan Metode yang sama. Hanya saja pada Plato diungkapkan dengan Hikayat-hikayat,
sedang Aristoteles mengungkapkannya dengan Samar-samar. Akan tetapi keduanya hendak
mendorong pengikutnya agar menemukan Kebenaran dengan menemukan di balik
Segi-seginya yang lahiriah.
Ketiga, Filsafat
Islam bertujuan mendapatkan Pengetahuan dalam rangka mendapatkan Hikmah
(Kearifan). Para Filsuf Muslim meyakini ketinggalan Pengetahuan dimana payungnya
adalah Metafisika atau Ilahiyat.
Keempat, Kualitas
Kebijaksanaan atau Kearifan yang hendak digapai oleh para Filsuf Islam adalah Kualitas
Keagamaan. Filsafat Islam mengandung Unsur-unsur Keagamaan yang diambil dari Al
Quran, akan tetapi mereka bukan hanya sekedar meminjamnya sebagai Unsur-unsur
Keagamaan belaka, namun Sungguh-sungguh berusaha merujukkan Agama dengan Akal untuk
tujuan memberi status Keilmuan pada yang Pertama. Ia menerapkan Strukur
Filsafat Yunani pada Prinsip-prinsip Agama dan dengan demikian memberikan Gema
Keagamaan pada Filsafat Yunani, semua hal yang tidak dilakukan oleh Guru-guru
Yunani mereka. Tidak mengherankan jika Fazlur Rahman menyatakan bahwa memang bahan–bahan
atau Ide Filsafat di ambil dari Yunani, tetapi Kontruksi Aktualnya jelas
berwarna Islam.
Kelima, Filsafat
Islam menunjukkan Kegemarannya akan masalah Pengetahuan dan Dasar-dasar
Psikologi serta Ontologinya. Di dalam Filsafat Islam hampir pasti kita
menemukan Analisis yang mendalam dan bagus mengenai berbagai kemampuan dan
kekuasaan makhluk, tingkat-tingkat yang harus di lalui untuk mencapai kesatuan
dengan Sumber segala makhluk, termasuk tingkat penyucian Moral. Dengan demikian
Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam tetapi dihangatkan dengan Semangat dan
penjelasan yang di ambil dari Al Quran.
Kontak
intelektual dengan Hellenisme membawa pengaruh yang sangat dalam bagi peradaban
Islam, khususnya di bidang pemikiran Islam. Penerjemahan terhadap karya-karya
Hellenisme tidak hanya meninggalkan karya-karya terjemahan saja, namun pada
masa awal penerjemahan ini banyak bermunculan karya-karya Muslimin yang berasal
dari Yunani. Selanjutnya, lahirlah generasi penulis-penulis Muslim orisinil.
Mereka tidak lagi hanya menerjemahkan, membuat ikhtisar, komentar, atau sekedar
mengutip, tetapi juga telah mengembangkannya dengan ajaran-ajaran Islam
sehingga karya-karya tersebut oleh Lapidus dan Bernard Lewis dikatakan sebagai
karya umat Islam murni dan asli. Mendukung pendapat kedua ahli sejarah di atas,
Nurcholis Madjid menegaskan bahwa mustahil karya-karya tersebut dianggap
sebagai carboncopy Hellenisme (Lapidus, 1991:94).
Perdebatan
bahwasannya Islam menjiplak warisan keilmuwan Yunani adalah kekeliruan, justru
Islam membuka keran keilmuwan yang luas sehingga bisa menyebar sampai Eropa
hingga saat ini, kepedulian Islam terhadap Ilmu ialah keterbukaan terhadap
segala macam budaya dan ilmu dari mana saja asalnya, dalam konteks ilmu dari
yunani, Ilmuwan Islam melakukan kajian yang dalam terhadap warisan ilmu yunani,
dan tidak menerima keseluruhan, tapi hanya menerima yang bersesuaian dengan
prinsip ajaran-ajaran Islam dalam Al Quran dan Hadist Nabi Saw, bila terdapat
pertentangan dengan prinsip tersebut, maka mereka melakukan bantahan serta
kritik tajam terhadap warisan yunani tersebut, sehingga apa keilmuwan yang di
terima sekarang dan menyebar sampai Eropa adalah hasil observasi yang dalam,
kemudian hanya kebenaran itu lah yang Islam sebarkan.
Paham orang
awam ataupun orang di dunia yang berbicara, berkelakuan dan hidup seperti orang
Yunani (Wikepedia)
M. Atiqul
Haque, Wajah peradaban: Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi besar Islam,
Budi Rahmat, et. Al. (penerj). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 68.
C.A. Qadir, Philosophy
and Science in the Islamic World, (London: Routledge, 1991), hlm. 71.
Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hlm. 10-11
C.A. Qadir, Philosophy
and Science in the Islamic World, (London: Routledge, 1991), hlm. 32
Ibid.,
hlm. 33.
Ibid.,
hlm. 32.
Bernard Lewis,
The Arabs in History (New York: Harper Torchbooks, 1967). Hlm. 137.
Qadir, Philosophy,
hlm 34-37; cari Brockelmann, History of the Islamic Peoples, (London:
Routledge & Kegan Paul Limited, 1949), hlm. 124-125.
Brockelmann,
History, hlm. 125.
Nafis (ed), Rekontruksi
dan Renungan, hlm. 322.
Rahman, Islam,
hlm. 167.